Rekomendasi Komnas Hak Azasi Manusia (HAM) yang mengklaim bahwa pemkab dan Pemkot diseluruh Indonesia sebagai pelanggar HAM nomor tiga setelah Kepolisian dan korporasi, membuat pemerintahan di Kabupaten Pacitan, sedikit merah telinga. Sekretaris Kabupaten (Sekkab) setempat, H. Suko Wiyono, meminta agar rekomendasi Komnas HAM tidak serta merta ditarik ke daerah. Termasuk di Pemkab Pacitan, yang dia klaim tidak linier dengan rekomendasi tersebut. Suko meminta, opini itu tidak harus di generalisasi. Sebab diakuinya tidak semua pemkab ataupun Pemkot harus rela menerima label tersebut. “Jadi jangan disamakan semua. Itu kan isu pusat, belum tentu sama dengan kondisi di daerah,” katanya, saat dikonfirmasi, Jumat (3/7).
Mantan Inspektur Kabupaten itu juga kurang sependapat seandainya indikator-indikator yang akhirnya membuahkan rekomendasi dari Komnas HAM, kalau semua pemkab ataupun Pemkot di seluruh negara ini sebagai pelanggar HAM nomor tiga, disamakan dengan kondisi di Pemkab Pacitan. “Semua itu harus kita kaji dan dalami dulu. Benar ataukah tidak, indikator yang berujung rekomendasi kalau Pemda sebagai pelanggar HAM nomor tiga,” tegas top manager birokrasi itu.
Suko mengakui, disetiap penyelenggara pemerintahan tentu ada kekurangan dan kelemahan. Baik dari sisi produk-produk kebijakan ataupun implementasinya di lapangan. “Akan tetapi tidak harus dilabelkan seperti itu (pelanggar HAM). Semua harus dilihat, dicermati, mana-mana yang belum sesuai dan harus segera dibenahi,” bebernya.
Terkait klaim kalau Pemda sebagai pelanggar HAM nomor tiga, juga mendapat perhatian dari Deni Cahyantoro, Kasubag Perundang-Undangan, Bagian Hukum, Setkab Pacitan. Bagian yang punya peran vital dalam memberikan pertimbangan soal produk-produk regulasi daerah itu mengatakan, kurang sependapat dengan opini Komnas HAM yang menjust kalau seluruh Pemda di anggap sebagai pelanggar HAM. “Kita lihat dulu, apa saja yang melatari rekomendasi tersebut,” tuturnya secara terpisah.
Deni menyadari, kalaupun ada klaim soal komposisi penganggaran yang belum berpihak pada publik, itu semata-mata bukan karena kesengajaan pemkab untuk menelorkan kebijakan seperti itu. Faktor yang paling mendasari karena keterbatasan kemampuan anggaran. “Kalau kesempitan itu dipaksakan, bisa jadi hak gaji PNS akan terpotong dan terancam tidak terbayar karena alokasinya untuk belanja publik,” beber dia.
Lebih dari itu, lanjut Deni, terkait produk regulasi daerah misalnya. Tidak semua Perda-Perda yang sudah ditetapkan harus mengakomodir semua aturan-aturan berskala nasional. Seperti Undang-Undang misalnya. Namun semua itu akan lebih disesuaikan dengan budaya, kearifan lokal serta dinamika sosial yang terus berkembang selama ini. Deni menegaskan, produk Undang-Undang biasanya lebih cenderung sektoral. Sebab masing-masing lembaga atau kementerian yang mengusulkan draft aturan itu pasti banyak muatan-muatan kepentingan yang belum tentu cocok diterapkan didaerah. “Kondisi semacam ini yang perlu disikapi. Jadi produk aturan daerah tidak selamanya match dengan aturan skala nasional. Yang pasti, tidak ada niatan dari pemerintah di level daerah untuk menyengsarakan rakyatnya,” beber Deni.
Pejabat eselon IVA itu juga kurang sependapat, kalau ada pernyataan semua aturan di tingkat pusat sudah meratifikasi aturan-aturan dunia internasional. Deni berpendapat, seandainya semua produk Undang-Undang harus meratifikasi aturan internasional, hal tersebut justru dianggapnya sebagai sebuah ancaman. “Artinya, kebijakan itu justru akan banyak memberangus beberapa hal mendasar. Seperti budaya, adat istiadat, kearifan lokal, serta dasar-dasar dan nilai-nilai kebangsaan,” tukasnya. (yun). (sumber : netonlinenews.com)
0 komentar:
Posting Komentar